Alhamdulillah dalam kesempatan ini saya ingin sedikit menjelaskan mengenai permasalahan - permasalahan yang banyak bermunculan di kehidupan umat Islam yaitu mengenai sholat qodho, mudahan mudahan dengan adanya artikel ini bisa menyelesaikan permasalah - permasalah yang ada. Aamiin yarobal alamiin
Esafadilah123.blogspot.com - Seperti yang dimaklumi, salat merupakan salah satu rukun Islam yang wajib dikerjakan oleh setiap muslim yang sudah baligh dan berakal. Perintahnya bersifat mutlak, hingga orang yang sakit atau dalam perjalanan sekalipun tetap diwajibkan untuk mengerjakannya, meskipun dengan tatacara yang sedikit berbeda sebagai bentuk keringanan dan kasih sayang Allah Swt terhadap manusia.
Tidak ada toleransi sedikitpun bagi seorang muslim untuk meninggalkannya dengan alasan apapun kecuali kematian dan haid/nifas bagi perempuan. Hal itu semua menunjukkan betapa besarnya perkara salat dalam bangunan hukum Islam.
Namun ada satu persoalan yang sering menjadi problem bagi sebagian kaum muslimin, yaitu pertanyaan jika salat tertinggal karena terlupa, ketiduran, atau memang disengaja sama sekali, apakah wajib diqadha (dilakukan di luar waktunya)?
Sebagian kaum muslimin ada yang berpendapat tidak wajib diqadha dengan alasan salat yang sudah ditinggalkan tidak dapat dikerjakan lagi. Mereka berdalil dengan Q.S. al-Nisa : 103 dan hadis Nabi tentang waktu-waktu pelaksanaan salat yang menegaskan bahwa salat mempunyai waktu yang sudah tetap dan ditentukan, sehingga jika tertinggal maka tidak bisa dikerjakan lagi.
Secara umum apa yang disampaikan oleh sebagian kaum muslimin itu benar adanya, salat mempunyai waktu-waktu yang sudah ditentukan. Namun mungkin mereka belum mengetahui bahwa selain kaedah umum itu, ada lagi semacam kaedah khusus yang menyebutkan bahwa salat tetap diwajibkan sekalipun waktunya telah habis.
Pelaksanaan salat seperti ini disebut dengan salat qadha, yaitu melakukan salat di luar waktunya. Pendapat ini bukannya tidak berdalil, namun pernah dilakukan langsung oleh Nabi Muhammad Saw sendiri yang kemudian dijadikan rujukan dan dalil oleh para ulama.
Syekh Zainuddin al-Malibari dalam karyanya Fathul Mu’in menjelaskan rincian terkait qadha salat ini. Beliau membaginya menjadi dua kategori. Pertama, qadha salat yang wajib disegerakan, yaitu bagi orang yang sengaja meninggalkannya. Bahkan orang ini, menurut beliau, harus menggunakan waktu luangnya untuk mengqadha semua salat yang pernah ia tinggalkan secara sengaja.
Kedua, qadha salat yang sunah untuk disegerakan, yaitu qadha salat bagi orang yang tidak sengaja meninggalkannya seperti misalnya ketiduran yang tidak sembrono, lupa, ataupun hal lain yang membuat dia tidak sengaja untuk meninggalkannya.
Namun uniknya, pendapat beliau ini dikritisi oleh sebagian kalangan yang menyatakan bahwa syariat mengqadha salat ini tidak pernah ada pada masa Nabi serta tidak pernah dicontohkan oleh para ulama salafus saleh. Bahkan tidak jarang juga sebagian mereka menganggap qadha salat ini adalah bagian dari perkara bid’ah yang diada-adakan dan pelakunya tidak akan mendapatkan pahala sama sekali.
Tentunya kita bertanya-tanya, benarkah Nabi dan para sahabat tidak pernah melakukan hal itu? atau apakah Nabi pernah melarang kaum muslimin untuk mengqadha salat yang pernah mereka tinggalkan? Menarik untuk kita bahas.
Pendapat para ulama pada dasarnya tidak terlepas dari argumentasi tertentu (sebut istimbath hukum) yang mereka pahami dari dalil-dalil yang ada. Seperti yang disampaikan oleh Imam al-Sya’rani dalam karyanya al-Mizan al-Kubra, bahwa setiap ijtihad ulama pasti mempunyai nilai keilmiahannya masing-masing dan pendapat tersebut harus dihargai sebagai sebuah hasil penelitian.
Begitu juga dengan Habib Quraish Shihab, seorang ahli tafsir Indonesia, yang tidak mau menarjih salah satu dari beberapa pendapat ulama terkait sebuah persoalan tertentu karena khawatir akan menutup luasnya rahmat Allah dari perbedaan-perbedaan tersebut.
Terkait dengan kasus di atas, ternyata banyak hadis yang menyebutkan bahwa Nabi pernah mengqadha salat beliau yang tertinggal karena beberapa alasan, seperti ketiduran, terlupa dan lain-lain. Misalnya saja sebuah riwayat dalam Sahih al-Bukhari yang bersumber dari Abi Qatadah di mana ia menceritakan bahwa pada suatu malam ketika ia dalam perjalanan bersama Nabi (setelah Perang Khaibar), sebagian sahabat ada yang mengusul agar mereka istirahat terlebih dahulu. Mendengar usulan tersebut, Nabi lantas menjawab, “Saya khawatir kalian akan ketinggalan salat subuh (karena bablas). Lalu Bilal menjawab, “biar saya yang berjaga wahai Rasul, istirahatlah kalian.!” Lalu Bilal pun bersandar kepada tunggangannya.
Tidak lama berselang, rasa kantuk juga menyerang Bilal hingga akhirnya ia tertidur juga. Beberapa saat setelah itu, Nabi Muhammad Saw terbangun di mana matahari telah bersinar terang (sudah siang), lalu beliau berkata, “Wahai Bilal, mana janjimu untuk membangunkan kami.? Bilalpun menjawab, “Mohon maaf wahai Rasul, ternyata saya juga terserang kantuk berat tadi malam, sehingga ketiduran juga”.
Lalu Nabi bersabda, “Sesungguhnya Allah telah menggenggam arwah kalian dan mengembalikannya kapanpun Dia mau. Wahai Bilal, bangkitlah serta azanlah!” Kemudian Nabi berwudhu dan pada saat matahari sudah semakin meninggi, Nabi baru menunaikan salat bersama para sahabat (mengqadhanya).
Dalam riwayat Muslim disebutkan kalau Nabi tidak langsung salat ketika beliau bangun, namun melanjutkan perjalanannya terlebih dahulu. Hingga ketika sampai di tempat yang ada sumber airnya, beliau berwudhu dan baru melakukan qadha salat. Hal ini dipahami oleh sebagian ulama seperti Zainuddin al-Malibari di atas, bahwa mengqadha salat yang tertinggal karena ketidaksengajaan seperti ketiduran, hukumnya hanya sunah saja untuk disegerakan.
Selain itu, hadis ini juga membuktikan bahwa salat yang tertinggal wajib diganti dengan cara qadha. Hadis lain riwayat Bukhari dan Muslim juga menyebutkan :
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ نَبِىُّ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم «مَنْ نَسِىَ صَلاَةً أَوْ نَامَ عَنْهَا فَكَفَّارَتُهَا أَنْ يُصَلِّيَهَا إِذَا ذَكَرَهَا».
Dari Anas ibn Malik, ia berkata bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda, “barangsiapa yang terlupa untuk salat atau tertidur, maka hendaklah ia menunaikannya ketika ia ingat.”
Ketika menjelaskan hadis ini, Ibn Hajar dalam Fath al-Bari-nya mengatakan bahwa kewajiban mengqadha salat bagi orang yang sengaja meninggalkannya lebih utama lagi, karena hal tersebut termasuk dalam sasaran makna atau suruhan untuk melaksanakan salat. Ia mengibaratkan kewajiban salat itu laksana hutang yang masih berada dalam tanggungan seseorang dan hutang tersebut tidak akan terlunasi kecuali jika ia dibayarkan.
Hal ini juga bisa dipahami dengan pendekatan qiyas aulawi dengan nalar jika salat yang tertinggal karena lupa atau ketiduran saja wajib diqadha, apalagi salat yang ditinggalkan secara sengaja, maka akan lebih wajib lagi.
Selain hadis-hadis di atas, Imam al-Bukhari dan Muslim dalam kitab Shahih-nya juga meriwayatkan bahwa Nabi pernah mengqadha salat sunat bakdiyah Zuhur pada waktu Ashar karena tidak sempat melakukannya setelah Zuhur lantaran urusan yang harus beliau segerakan hingga menjelang waktu Ashar.
Demikian pula halnya dengan anjuran Nabi untuk orang yang selalu membiasakan salat witir pada tiap malamnya, namun ketiduran, untuk mengqadhanya pas ia terbangun atau ketika ia mengingatnya sekalipun di siang hari. Riwayat yang terakhir ini diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan al-Tirmidzi dalam kitab Sunan keduanya.
Data-data tersebut, sekali lagi, menjadi bukti kongkrit wajibnya mengqadha salat, baik salat yang ditinggalkan karena sengaja ataupun tidak. Bahkan dalam dua hadis terakhir, jangankan salat wajib, salat sunahpun boleh dan dianjurkan Nabi untuk mengqadhanya. Pendapat ini juga dianut oleh mayoritas ulama, termasuk Imam Abu Hanifah, Malik ibn Anas, dan Muhammad Idris al-Syafi’i.
Sayyid Sabiq dalam karyanya Fiqh al-Sunnah menyimpulkan pendapat para ulama tersebut bahwa orang yang sengaja meninggalkan salat dihukumi berdosa dan ia wajib mengqadhanya di waktu lain yang ia sanggupi untuk mengerjakannya. Wallahu A’lam
Komentar