sejatinya tidak semata-mata instrumen alat musik itu yang menyebabkan haramnya nyanyian, melainkan karena ilat (sebab)nya alat-alat itu identik dengan syiar orang-orang yang berperilaku buruk. Hal ini dapat dipahami dari pernyataan Imam al-Ghazâlî:
وكل ذلك جائز ما لم يدخل فيه المزامير والأوتار التي من شعار الأشرار
Artinya, “Semua alat musik itu boleh kecuali seruling dan gitar, karena bagian dari syiar orang-orang yang buruk.” (Imam Al-Ghazali, Ihyâ’ ‘Ulȗm al-Dîn, juz II, halaman 273-274).
Artinya, “Semua alat musik itu boleh kecuali seruling dan gitar, karena bagian dari syiar orang-orang yang buruk.” (Imam Al-Ghazali, Ihyâ’ ‘Ulȗm al-Dîn, juz II, halaman 273-274).
ويهذه العلة يحرم ضرب الكوبة وهو طبل مستطيل دقيق الوسط واسع الطرفين وضربها عادة المخنثين، ولولا ما فيه من التشبه لكان مثل طبل الحجيج والغزو
Artinya, “Dengan alasan ini pula haram menabuh gendang atau drum, yaitu sejenis alat musik tabuh panjang yang memiliki lobang di tengah, dan lebar kedua sisinya. Menabuh gendang ini adalah kebiasaan waria. Andaikan tidak ada kesamaan dengan kebiasaan waria maka boleh, seperti gendang haji dan perang.” (Ihyâ’ ‘Ulȗm al-Dîn, Juz 2, halaman 270).
Secara spesifik, ada yang melarang penggunaan alat musik tiup (seruling) dan alat musik petik (gitar) ini berdasarkan teks hadis, dan ada pula yang melihat faktor alasannya, yaitu karena alat musik tiup (seruling) dan alat musik petik (gitar), pada masa lalu sangat identik dengan musik-musik para pemabuk, pezina dan sebagainya (sya‘â’ir al-asyrâr). Jadi, sudah maklum dalam hukum fiqih jika faktor alasannya hilang maka hukumnya juga berubah (al-hukmu yadȗru ma‘a ‘illatihi wujȗdan wa‘adaman).
Hari ini gitar dan seruling tidak lagi identik dengan musik-musik orang yang perilakunya buruk. Gitar dan seruling, juga gendang dan drum saat ini tidaklah lagi identik dengan syiar orang-orang yang berperilaku buruk, justru dipakai untuk mengiringi nyanyian yang bernuansa dakwah, misalnya digunakan oleh Raja Dangdut Rhoma Irama dan Soneta, juga digunakan grup qasidah perempuan yang legendaris, bernama Nasidaria.
Oleh karena itu, pernyataan Imam al-Ghazâlî ini penting digarisbawahi:
Artinya, “Dengan alasan ini pula haram menabuh gendang atau drum, yaitu sejenis alat musik tabuh panjang yang memiliki lobang di tengah, dan lebar kedua sisinya. Menabuh gendang ini adalah kebiasaan waria. Andaikan tidak ada kesamaan dengan kebiasaan waria maka boleh, seperti gendang haji dan perang.” (Ihyâ’ ‘Ulȗm al-Dîn, Juz 2, halaman 270).
Secara spesifik, ada yang melarang penggunaan alat musik tiup (seruling) dan alat musik petik (gitar) ini berdasarkan teks hadis, dan ada pula yang melihat faktor alasannya, yaitu karena alat musik tiup (seruling) dan alat musik petik (gitar), pada masa lalu sangat identik dengan musik-musik para pemabuk, pezina dan sebagainya (sya‘â’ir al-asyrâr). Jadi, sudah maklum dalam hukum fiqih jika faktor alasannya hilang maka hukumnya juga berubah (al-hukmu yadȗru ma‘a ‘illatihi wujȗdan wa‘adaman).
Hari ini gitar dan seruling tidak lagi identik dengan musik-musik orang yang perilakunya buruk. Gitar dan seruling, juga gendang dan drum saat ini tidaklah lagi identik dengan syiar orang-orang yang berperilaku buruk, justru dipakai untuk mengiringi nyanyian yang bernuansa dakwah, misalnya digunakan oleh Raja Dangdut Rhoma Irama dan Soneta, juga digunakan grup qasidah perempuan yang legendaris, bernama Nasidaria.
Oleh karena itu, pernyataan Imam al-Ghazâlî ini penting digarisbawahi:
فهذه المقاييس والنصوص تدل على إباحة الغناء والرقص والضرب بالدف واللعب بالدرق والحراب والنظر إلى رقص الحبسة والزنوج في أوقات السرور كلها قياسا على يوم العيد فإنه وقت سرور، وفي معناه يوم العرس والوليمة والعقيقة والختان ويوم القدوم من السفر وسائر أسباب الفرح وهو كل ما يجوز به الفرح شرعا، ويجوز الفرح بزيارة الإخوان ولقائهم واجتماعهم في موضع واحد على طعام أو كلام.
Artinya, “Berdasarkan dalil qiyas dan dalil nash menunjukkan diperbolehkan nyanyian, menggerakkan tubuh atau koreografi (dengan catatan tidak memicu atau menimbulkan syahwat), menabuh terbang, mainan perang-perangan, melihat gerakan tubuh orang habasyah (kulit hitam), di waktu bahagia yaitu hari raya, pernikahan, walimah, aqiqah, khitan, kedatangan tamu dan bentuk kebahagiaan yang lain. Yaitu hal yang diperbolehkan dalam syariat maka boleh untuk bersenang-senang, mengunjungi saudara, bertemu dengan kawan, berkumpul dalam satu tempat untuk makan-makan atau berdiskusi.” (Al-Ghazali: II/276).
Artinya, “Berdasarkan dalil qiyas dan dalil nash menunjukkan diperbolehkan nyanyian, menggerakkan tubuh atau koreografi (dengan catatan tidak memicu atau menimbulkan syahwat), menabuh terbang, mainan perang-perangan, melihat gerakan tubuh orang habasyah (kulit hitam), di waktu bahagia yaitu hari raya, pernikahan, walimah, aqiqah, khitan, kedatangan tamu dan bentuk kebahagiaan yang lain. Yaitu hal yang diperbolehkan dalam syariat maka boleh untuk bersenang-senang, mengunjungi saudara, bertemu dengan kawan, berkumpul dalam satu tempat untuk makan-makan atau berdiskusi.” (Al-Ghazali: II/276).
Komentar